Oleh : Agus Prasetya
Mungkin suatu ketika ada yang pernah meragukan keberadaan Allah. Atau mungkin kita pernah mendengar pertanyaan “kalau Allah itu ada, mana buktinya kok aku gak pernah lihat”. Hal ini disebabkan karena kita selalu beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada selalu dapat kita tangkap dengan indera. Kita lupa bahwa kemampuan indera kita memiliki keterbatasan. Buktinya sekarang kita tidak bisa melihat secara langsung benda-benda langit seperti planet saturnus, Uranus, venus, dsb. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan panca indera kita terbatas, padahal benda-benda langit tersebut adalah sesuatu yang nyata. Lalu kalau indera kita tidak mampu melihat Allah baik secara langsung maupun dengan alat, bagaimana kita bisa membuktikan kalau Allah itu benar adanya?. Jawabnya adalah dengan akal. Lalu sekarang pertanyaannya adalah “Bagaimana mungkin orang dapat beriman kepada adanya Allah, sedangkan akal sendiri pada kenyataannya juga tidak mampu memahami Dzat Allah ?”
Jawabnya sederhana saja, hakekat iman adalah percaya akan adanya eksistensi (wujud/keberadaan, bukan mengenai Dzat) Allah. Dan untuk membuktikan wujud/keberadaan Allah SWT tersebut bisa dipahami melalui wujud makhluk-makhluk-Nya, yaitu dalam bentuk alam, manusia dan kehidupan. Ketiganya berada dalam batas-batas yang dapat dicapai akal. Akal manusia mampu membuktikan keberadaan suatu hal yang berada diluar jangkauannya jika ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti perkataan seorang badui (orang awam di wilayah arab) tatkala ditanyakan kepadanya “Dengan apa kamu mengenal Rabbmu ?” jawabnya : “Tahi onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan.”
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa alam ini begitu kompleks dan teratur. Maka sungguh tidak masuk akal kalau kita mengatakan alam raya ini ada dengan sendirinya. Sehelai benang saja pasti ada pembuatnya. Lalu masuk akalkah jika dikatakan alam semesta, manusia, dan kehidupan ada dengan sendirinya. Kalau memang alam semesta ini ada dengan sendirinya, lalu siapa yang mengatur peredaran darah di tubuh kita sampai perdaran matahari,bulan, bumi, dan pergantian siang malam. Mungkin bisa dijawab dengan “itu hukum alam”. Kalau itu hukum alam, apakah masuk akal juga kalau hukum alam yang sedemikian seimbang tidak ada yang mengatur dan menciptakan? Semua orang yang sehat akalnya pasti akan mengatakan semua itu diatur dan diciptakan.
Sebagai analogi, misalnya saja kita dapat meyakini adanya pesawat hanya semata-mata karena suaranya yang menggema di udara, meskipun kita tidak sedang melihat pesawat tersebut. Dengan kata lain melalui indera yang dapat mendengar bunyi pesawat terbang, kita dapat memahami adanya pesawat tersebut meskipun kita tidak melihat dan tidak mampu mengindera dzatnya. Memahami “keberadaan” pesawat berbeda dengan memahami dzat pesawat. Memahami dzatnya tidak akan diperoleh karena tidak mampu menjangkau dzat pesawat yang jauh tinggi di angkasa. Sedangkan memahami keberadaannya dapat diperoleh dengan pasti hanya melalui suara pesawat.
Oleh karena itu, keimanan kita adalah iman kepada adanya Allah yang hakekat dzat-Nya tidak dapat dipahami manusia. Bagaimana Maha Melihatnya Allah, Maha Mendengarnya dan serba Maha lainnya ? Bagaimana Allah bersemayam di ArsyNya ? Bagaimana Allah membagikan rizki kepada makhlukNya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut diluar jangkauan akal manusia, sebab bagaimanapun juga manusia adalah makhluk yang tentunya pasti memiliki keterbatasan, Termasuk juga keterbatasan indera dan akal.
Biarpun akal kita sangat terbatas dan tidak mampu memahami DzatAllah, namun secara logika akal kita tidak akan bisa menyangkal bahwa Allah benar-benar sang pencipta yang keberadaannya tidak diragukan lagi. Akal memang tidak mampu menjangkau Dzat Allah, namun melalui penginderaan terhadap alam semesta dan melalui proses berfikir yang benar maka akal akan mampu memahami eksistensi (keberadaan wujud) Allah SWT.
Jadi, ketika kita takut kepada Allah, maka sebenarnya kita takut kepada dzat yang benar-benar nyata adanya. Bukan sekedar doktrin belaka atau bahkan khayalan yang tidak terbukti kebenarannya. Dan setelah memahami semua ini, maka sudah sepantasnya kita benar-benar sepenuh hati mengabdi kepada sang pencipta yang benar-benar nyata adanya yang tidak lain dan tidak bukan adalah Allah SWT. Bentuk pengabdian ini tentunya adalah sesuai dengan peraturan Sang pencipta yang dapat kita ketahui melalui sebuah kitab yang sampai saat ini masih terjaga kemurniannya(Al-Qur’an) dan disampaikan oleh seorang utusan-Nya(rasul) yaitu nabi Muhammad SAW. Bukan dengan cara-cara buatan manusia yang dilakukan oleh pemeluk-pemeluk agama lain, dan bukan pula berdasarkan kitab-kitab hasil revisi dan amandemen seperti yang dilakukan oleh orang-orang nasrani. Oleh sebab itu satu-satunya jalan untuk mengabdi kepada Allah hanyalah melalui satu agama yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan yaitu agama “ISLAM”. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an yang terjemahnya sebagai berikut : “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.(TQS. Ali ‘Imran :85)
Referensi :
Terjemah buku : Al-Fikru Al-Islami karya : Muhammad Ismail (2002)
Social Bookmarking